Kamis, 19 Desember 2013

Tidak Mengucapkan Selamat Natal Bukan Berarti Tidak Memercayai Kelahiran Nabi Isa a.s.


Saya menempuh SD dan SMP di sekolah Katolik, dapat anda bayangkan berapa banyak teman saya yang beragama Nasrani. 
Lebih dari itu, Mbah Kakung, Mbah Putri, Bulik, Om, dan semua sepupu dari pihak keluarga Ibu saya menganut Katolik, mereka bukan orang-orang yang jauh dari saya, keluarga besar Ibu saya itu sangat dekat dengan pribadi saya.
Bayangkan anda harus menjadi saya, ingin sekali mengucapkan selamat natal di tengah kegembiraan mereka bukan?

Dalam Al-Quran Surah Maryam ayat 33 memang menjabarkan bagaimana Nabi Isa a.s. seolah memberi contoh memberi ucapan selamat atas kelahirannya dengan berkata, “Dan kesejahteraan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Namun, saya meragukan mengenai waktu kelahiran Nabi Isa a.s. yang diperingati setiap tanggal 25 Desember karena saya belum mendapat literatur yang terbukti merupakan fakta yang menyatakan memang pada tanggal 25 desember lah Nabi Isa as dilahirkan.

Selain itu, yang menodai kesejahteraan atas kelahiran Nabi Isa a.s. adalah kepercayaan umat Nasrani bahwa Isa as adalah anak Allah yang dikandung oleh Roh Kudus. Sementara dalam surat yang sama (Surah Maryam) ayat  88 sampai dengan ayat 93, disebutkan yang artinya sebagai berikut.
(ayat 88) Dan mereka berkata,”(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.
(ayat 89) Sungguh kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar.
(ayat 90) Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu).
(ayat 91) Karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha pengasih mempunyai anak.
(ayat 92) Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.
(ayat 93) Tidak seorang pun di langit dan di bumi melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.

Pasti jika anda seorang beragama Katolik atau Protestan akan sedikit merasa kesal, kecewa, tidak percaya, atas uraian saya sampai di titik ini. 
Tetapi di sinilah kita mewujudkan apa yang kita sebut dengan toleransi. 
Toleransi yang muncul adalah dengan membiarkan saya percaya kepada apa yang saya yakini, begitupun dengan saya yang tetap membiarkan anda mempercayai yang anda percayai.

Bukankah dengan umat muslim dilarang mengucapkan selamat natal tidak berarti umat muslim melarang umat nasrani merayakan natal?

Dengan tidak mengucapkan Selamat Natal tidak akan mengusik siapapun, tidak akan mengecewakan siapapun.  Sama halnya ketika saya merasa santai, biasa saja, dan tidak kecewa umat Nasrani tidak serta merta mengucapkan selamat hari kemenangan kepada saya saat hari Idul Fitri tiba.

Bukankah dengan umat muslim tidak mengucapkan selamat hari natal tidak akan menyakiti siapapun?
Maka ini adalah cara yang damai, dimana umat muslim tetap setia pada urusan dengan Tuhannya, begitupun umat Nasrani.

Fatwa haramnya mengucapkan Selamat Natal itu berlaku bagi kaum muslim saja bro, sist, jika anda bukan, ya sebaiknya tidak usah sewot. Karena ini urusan umat muslim, dan biarkan kami yang menyikapi sendiri.
Memang di antara kami ada yang menyikapinya dengan cerdas sementara beberapa lainnya hanya mengutamakan emosi.  


Bertoleransi adalah ketika saya tetap berpegang teguh kepada aqidah agama saya karena itu perintah Tuhan saya dan menjadi urusan saya dengan Yang Maha Kuasa, sementara begitu pula umat agama lainnya dengan aturan main agamanya masing-masing, namun kemudian kita tetap bisa bersama-sama berteman satu sama lain, tidak saling menjatuhkan karena urusan agama, dan tidak memunculkan suatu keributan karena alasan agama itu sendiri.

Senin, 16 Desember 2013

Rhoma Irama Jadi Calon Presiden?

Assalamualaikum.

Hai, bro, sist ! Makin dekat ke 2014, makin dekat ke pemilihan presiden RI.

Mungkin kalian sudah tahu, Rhoma Irama saat ini semakin santer dikabarkan di media, akan diusung oleh PKB menjadi calon presiden RI di 2014 mendatang.

Merasa disentil oleh wacana ini, dan karena agama gue mengajarkan untuk tidak suudzan apalagi berujung fitnah terhadap sesuatu / seseorang, maka gue mencoba mencari tahu terlebih dahulu siapa sebenarnya Rhoma Irama sebelum menjudge beliau.

Nama asli : Raden Oma Irama
Nama lain : Rhoma Irama
Lahir : Tasikmalaya, 11 Desember 1946
Pendidikan:
  • SD Kibono Manggarai Jakarta
  • SMP Negeri 15 Jakarta
  • SMA Negeri 8 Jakarta (sampai kelas II)
  • SMA PSKD Jakarta
  • St Joseph Solo
  • SMA 17 Agustus Tebet Jakarta
  • Fakultas Sospol Universitas 17 Agustus  (tidak tamat, kata beliau di wawancara sih beliau drop out-an gitu)

Sebagai musisi, pencipta lagu, dan bintang layar lebar, Rhoama selama kariernya, telah menciptakan 685 buah lagu dan bermain di banyak film. Menurut Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film, Rhoma Irama tidak pernah makan uang dari film, hasil film antara lain disumbangkan untuk Masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung.

Ia Juga terlibat dunia politik. Di masa awal Orde Baru, ia sempat menjadi maskot penting PPP, setelah terus dimusuhi oleh Pemerintah Orde Baru karena menolak untuk bergabung dengan Golkar. Rhoma sempat tidak aktif berpolitik untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya terpilih sebagai anggota DPR mewakili utusan golongan yakni mewakili seniman dan artis pada tahun 1993.

Rhoma Irama sempat kuliah di Universitas 17 Agustus Jakarta, tetapi tidak menyelesaikannya.

Pada bulan Februari 2005, dia memperoleh gelar doktor honoris causa dari American University of Hawaii dalam bidang dangdut, namun gelar tersebut dipertanyakan banyak pihak karena universitas ini diketahui tidak mempunyai murid sama sekali di Amerika Serikat sendiri, dan hanya mengeluarkan gelar kepada warga non-AS di luar negeri. Selain itu universitas ini tidak diakreditasikan oleh pemerintah negara bagian Hawaii.

Oke cukup dulu kenalannya sama beliau.

Next, gue baru saja nonton video tayangan beliau saat diwawancarai di acara Mata Najwa.


Silakan lihat di sini!

Dari hasil menonton video tersebut, ada beberapa hal yang gue tangkap.

1. Rhoma Irama menyebutkan bahwa dirinya siap maju sebagai presiden atas desakan para ulama, politisi, dan kepedulian dirinya sendiri sebagai anak bangsa,
namun lebih terdengar sebagai rasisme belaka

Contoh kasus mengenai salah satu penyebab yang menggelitik dirinya agar mau untuk dicalonkan seperti yang beliau beberkan dalam video wawancara di atas, lebih menunjukkan bahwa beliau terusik oleh prestasi etnis lain (baca : etnis Tionghoa) yang kemudian seolah mengancam eksistensi umatnya baik di bidang ekonomi maupun kenegaraan/politik.

Beliau beberapa kali menyebutkan ada yang tidak lagi proporsional, namun entah apa.

Terkait dengan ini, sebelumnya beliau pernah diduga terlibat black campaign pada pilgub DKI Jakarta 2012 lalu, dengan cara dalam salah satu dakwahnya menganjurkan warga DKI Jakarta memilih pasangan cagub-cawagub yang beragama Islam.

Gue memang banyak mendengar dalam ajaran agama bahwa kita harus memilih pemimpin yang Islamnya baik. Namun penjelasan mengenai hal ini, menurut dosen gue, bapak Drs. KH. A. Busyairi Harits, M.Ag. adalah sebagai berikut.

Bahwa Jamaah Ahlussunnah Waljamaah (golongan yang menurut hadits Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya yang akan masuk surga) di awal pembentukan golongan ini saja sejarahnya didasari atas keinginan untuk hanya fokus terhadap umat (pengajaran agama, dsb.) dengan orientasi kebangsaan, bukan kenegaraan.

Maksudnya adalah, umat Islam yang baik, dewasa ini harus membedakan kenegaraan dan keagamaannya meskipun keduanya berkaitan erat.
Dalam proses ketatanegaraan, jika memang ada sosok pemimpin yang berbeda keyakinan, kita tidak lagi boleh hanya memandangnya dari perbedaan keyakinan tersebut, melainkan tujuan yang ingin dicapai.
Jika tujuan yang ingin dicapai selaras dengan tujuan Ahlussunnah Waljamaah, maka tidak ada salahnya memilih sosok beda agama tersebut.

Kemungkinannya ada 2:
1.     Rhoma Irama dan/atau ulama-ulama serta tokoh politik yang mendesaknya bukan Ahlussunah Waljamaah dan tidak memahami hal tersebut.
2.     Alasan-alasan yang terdengar "aneh" menurut saya itu digunakan hanya untuk kedok kepentingan golongan
Kita lihat sekarang, apakah Ahok kemudian melakukan diskriminasi terhadap warga yang Islam dalam upaya memperbaiki DKI Jakarta? Jawab sendiri.



2. Rhoma Irama menjawab sudah siap untuk maju jika dikehendaki,
namun belum mengenal apa yang akan ia pimpin

Dari penjelasan di point nomer satu saja sudah jelas, beliau tidak memahami kemajemukan bangsa Indonesia, dan hanya berangkat dari tujuan satu golongan saja.

Selain itu mengenai isu ekonomi yang umum saja beliau masih belum tahu dan menganggap itu terlalu spesifik sehingga di luar kompetensinya.

Saya beri tahu kepada anda Bang Haji, saya Hutomo Yoga Ariantono, usia 18 tahun mahasiswa Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang, jika pada saat itu ditanyakan hal yang demikian oleh Najwa, saya mampu menjawabnya.

Isu yang umum saja belum mengetahui, apalagi masalah spesifik. Misalnya mengenai langkah yang akan diambil untuk mengatasi berbagai problema di masyarakat akar rumput Indonesia.
Menurut saya beliau tidak tahu masalahnya apa saja pun otomatis demikian dengan solusinya.


Dalam kata lain Rhoma Irama belum tahu / mengenal masalah yang akan dihadapi dan diatasinya kelak sebagai pemimpin Indonesia, meski berkata sudah siap dicalonkan.

Oke memang beliau berkelit soal statusnya yang masih sebagai wacana calon presiden, ya gue sih mendoakan saja, di waktu yang tersisa ini apabila beliau benar ingin membenahi negeri, kenali dulu yang ingin dibenahi.
Ingat, tak kenal maka tak sayang.


Gue gak bermaksud menjatuhkan siapapun di postingan ini, hanya mencoba memberi gambaran.
Anda tentu memiliki pandangan yang berbeda. 
Anda dapat menentukan kelayakan beliau bukan?

Wassalam


Senin, 09 Desember 2013

Kriteria Keberhasilan Minimum (KKM) dalam Hidup

Buat anak sekolah jaman sekarang, KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) itu lagi ngetrend banget.
Tiap sekolah menetapkan besaran KKM tersebut berbeda satu dengan lainnya.

Well, menurut gue hidup juga perlu KKM (Kriteria Keberhasilan Minimum), yang tentunya antara satu individu dengan yang lainnya berbeda dalam menentukan besarannya.

Dan untuk gue pribadi. Gue sangat bangga dengan kedua orang tua gue atas segala pencapaian mereka.
Pencapaian atas pendidikan mereka terdahulu sehingga menjadi modal untuk menjalani proses menjadi mereka yang sekarang, pencapaian mereka dalam membesarkan, mendidik, dan membentuk gue, pencapaian mereka atas semua yang gue bisa ikut nikmati sekarang.

Akibat kebanggaan dan juga kekaguman atas apa yang sudah kedua orang tua gue bisa capai dan bisa berikan ke gue, maka gue dengan resmi menetapkan KKM (Kriteria Keberhasilan Minimum) hidup gue adalah sebesar pencapaian orang tua gue.

Tentunya, gue gak mau dong sekedar dapet nilai KKM. Maka gue akan berusaha semaksimal mungkin melebihi KKM hidup gue ini di usia yang jauh lebih muda. Dan tentunya besaran pencapaian yang berupa nominal harta, penyetaraannya dengan yang dicapai orang tua gue saat ini pastinya beda. Karena tentunya saat gue udah gede nanti semuanya turut lebih meningkat.

Yah, kira-kira begitulah posting kali ini membahas KKM.

Inget ya, KKM itu M-nya MINIMUM ! Dalam hidup gak mau kan sekedar jadi yang minimum?

Ayo RAIH yang MAKSIMUM di hidup lo, dengan mempertimbangkan pula terburuknya (minimumnya) harus segimana.

Akhir kata, segitu KKM gue, segimana KKM lo?

Tuntutan Hidup Jelas Merupakan Tuntunan

Berada dalam tekanan, dibayangi deadline, diberikan suatu target pencapaian, adalah saat-saat yang memang menguras segenap jiwa raga, melelahkan.

Gue yakin gak cuma gue doang di dunia ini yang pernah berandai-andai hidup tanpa dibebani tuntutan atau target apapun.

Tetapi guys, pas tadi lagi bermesraan sama jamban (buang air besar) gue memikirkan hal-hal ini

  1. Kita sendiri yang menciptakan tuntutan hidup kita masing-masing
  2. Segala tuntutan hidup adalah jalan menuju kesuksesan hidup tergantung pada cara kita menyikapinya
  3. Biar lebih enak mari kita ubah mind set "tuntutan hidup" menjadi "target"
Oke, gue bakal contohin.

Seorang pengangguran (yang gue maksud adalah mereka yang benar-benar menjadikan pengangguran sebagai jati dirinya, menerima, dan pasrah) yang hidupnya luntang-lantung tanpa arah tujuan, hanya menanti kucuran dana dari pemerintah pusat (baca : orang tua), hidupnya pasti tidak memiliki tuntutan. 
Mungkin kalian bertanya, mana mungkin lingkungan sekitarnya tidak menuntut si pengangguran itu mencari kerja? 
Hmm, jadi gini, menurut gue, lingkungan sekitar pasti memberikan suatu tuntutan. Tetapi, selama si orang tersebut tidak menjadikan tuntutan hidup itu sebagai tuntutan hidupnya, hal itu hanya akan menjadi sebuah tekanan untuk sementara waktu saja tanpa memberi efek apapun karena tidak ada upaya untuk mencapainya.

See, klop dengan nomer satu. Sekalipun banyak tuntutan dari siapa dan apapun itu, kalau kita sendiri tidak secara ikhlas menyadari dan mencanangkan itu sebagai tuntutan dan target hidup kita (dengan kata lain menciptakan tuntutan hidup sendiri), maka tidak akan berdampak apapun.

Hal di atas juga sekaligus menjelaskan nomer dua, segala tuntutan hidup yang datang, sebenarnya datang sebagai dua pilihan. Pilihan termudahnya adalah mengabaikan, dan pilihan tersulitnya adalah menempuh berbagai cara untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut. Semua bergantung pada cara kita menyikapinya.

Dan untuk nomer tiga, mengingat segala tuntutan hidup memiliki maksud yang baik dan dapat menuntun pada kesuksesan, mari kita mengubah mind set "kita tidak sedang dikejar oleh tuntutan hidup, kita lah yang mengejarnya"
 
Yak, makasih kalau ada yang baca postingan ini, berhubung ini hanya hasil renungan sembari buang air besar, dapat dipastikan tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Wassalam

Rabu, 30 Oktober 2013

Secuil Pesan untuk Pemimpin DKI

Assalamualaikum

Beberapa detik yang lalu gue baru aja ngeclose beberapa tab mozilla tempat gue nonton video-video dari youtube.
Di antara video tersebut ada yang menarik, yakni tentang cara "DKI Jakarta" yang kayaknya agak rajin mengupload secara resmi video rapat yang tentunya dihadiri oleh aparat-aparat pemerintahan.

Di satu sisi jelas gue kagum mereka bisa setransparan itu, dan belum pernah ada yang sebegininya banget.

Tetapi, dari video-video tersebut lumayan banyak yang berisikan sang-pemimpin-teratas DKI (tepatnya si wakilnya) yang "memarahi" anak buahnya.
Memarahi dengan banyak definisi tentunya, beberapa terdefinisikan sebagai sang-pemimpin-teratas mengkritisi kinerja bawahannya, atau sang-pemimpin-teratas membantah argumen bawahannya dengan nada tinggi, atau sang-pemimpin-teratas menuntut bawahannya merubah apa yang direncanakannya.

Mungkin gue emang gak ngeliat semua video yang tersajikan, dan gue mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti ini, tetapi entah mengapa dengan dijejali beberapa video tersebut, otak gue lalu berpikir "kok kayaknya sang-pemimpin-teratas DKI terlihat superior banget ya sementara bawahannya malah keliatan kayak lagunya Raisa - Serba Salah" hehehe

Harus diingat bahwa yang disajikan untuk publik tentu akan membentuk opini publik.

Dan kesan yang nyangkut di otak gue ya seperti itu, seakan-akan aparatur pemerintahan DKI gak becus sementara sang pemimpinnya doang yang becus.
Kalau aja opini seperti ini muncul juga pada ribuan orang yang mungkin juga menyaksikan video-video tersebut, agak gawat juga.
Karena sesungguhnya kan sang pemimpin gak bisa berbuat apa-apa tanpa pion-pion terdepan yang bakalan langsung bersentuhan dengan masyarakat, yang gue yakin masing-masing sudah sesuai antara keahlian dengan bidang yang ditanganinya. Sementara itu dengan tersajinya gambaran sang pemimpin "memarahi" anak buah itu ke publik kita dibuat hanya "percaya" pada pemimpin dan tidak percaya dengan aparatur yang dipimpin.


Menurut gue pembentukan opini publik melalui pemublikasian semacam ini dapat berdampak:
  1. Adanya perasaan sakit hati yang lebih dari biasanya di hati para bawahan yang "dimarahi" karena seakan sekaligus dibikin malu pada saat bersamaan dengan divideokan dan diunggahnya hal tsb.
  2. Ini gambling. Bisa jadi beberapa di antara mereka yang dimarahi bukan termotivasi kinerjanya setelah publik melihat mereka "dimarahi" sang pemimpin tetapi malah menjurus ke arah sebaliknya
  3. Kepercayaan publik terhadap para pemimpin yang berada di bawah sang-pemimpin-teratas berkurang, dan hanya benar-benar menaruh kagum, simpatik, dukungan, kepercayaan kepada sang-pemimpin-teratas saja. Padahal secara keseluruhan pemerintahan harus mendapat dukungan masyarakat agar kinerjanya baik, bukan sang-pemimpin-teratas saja, karena yang akan benar-benar bersentuhan dan bekerja pada bidang-bidang yang dibangun atau dibenahi kan mereka yang posisinya di bawah sang-pemimpin-teratas

Masih belum konek juga apa yang gue maksud?

Kebanyakan video itu secara tidak langsung membangun citra sang pemimpin sekaligus mempermalukan mereka yang "dimarahi"

Ya gue yakin sih diuploadnya video-video tersebut atas dasar transparansi bukan pencitraan. Tapi ya gimana yaaa . . .


Menegakkan kebenaran, menindak kekeliruan memang sangat benar harus terus dilaksanakan.

Namun menurut gue ada baiknya sang pemimpin tidak terlalu sering "memarahi" anak buahnya di depan umum. Gampangnya sihh, bisa kan di belakang layar aja?


Emang sih itu marahinnya di ruang rapat tertutup, tapi kan divideoin, terus diunggah ke internet. Ya jadinya sama aja lah.

Wassalam. Selamat dini hari :)

Senin, 21 Oktober 2013

Diksi Yang Dipertanyakan dalam UUD 1945

Assalamualaikum wr.wb.
Salah satu dosen gue, Pak Andi Purnomo, S.T., M.A. sempat atau bahkan sering menyoroti kesalahan atau kekeliruan atau keambiguan dalam penggunaan bahasa tercinta kita, Bahasa Indonesia. Dan yang paling menarik perhatian gue adalah penggunaan pilihan kata (diksi) berikut di dalam UUD 1945

First, dimulai dari bagian pembukaan UUD 1945. Coba kita telaah pada alinea kedua.

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Apakah ada yang salah? Pastinya gue gak berani bilang ini kesalahan. Coba deh bro sist sekalian baca lagi.

Mungkin alinea ini seolah menjadi jawaban bagi pertanyaan mereka yang selama ini berkoar "Apakah Indonesia sesungguhnya sudah merdeka?"
Ya, kita mungkin bahkan belum memasuki kemerdekaan itu sendiri.
Kita masih di depan pintu gerbang kemerdekaan. Baru sampai di sanalah pencapaian kita jika menelaah alinea tersebut.
Itu dari segi "kesalahan lucu" dalam penggunaan diksi.

Lebih lanjut, mari kita selami.

Coba bayangkan, berarti selama ini, Indonesia sudah berada di depan sebuah pintu gerbang selama 68 tahun tanpa memasukinya.
Hmmm, mungkin pintu gerbangnya masih dikunci kali ya?hehehe
Dan yang seharusnya membuka gerbang yang terkunci tersebut masih sibuk unjuk rasa tidak jelas, saling menyalahkan, beberapa malah tidak peduli, merasa tidak memiliki negara ini dengan melimpahkan segalanya kepada pemerintah, terus menyalahkan pemerintah tanpa pernah terjun langsung ke sekitarnya untuk membuka mata dan menolong orang yang mereka teriakkan haknya.

Para pemuda masih mencari kunci kemerdekaan tersebut. Mungkin termasuk gue, saat ini gue cuma bisa posting beginian doang di blog. Tapi mungkin di sini, perlahan serpihan kunci gerbang yang teramat besar tersebut bisa gue temukan untuk kemudian gue gabungkan dengan serpihan kunci lainnya yang ditemukan para pemuda bangsa lainnya.


Next, diksi yang agak gue pertanyakan terdapat pada batang tubuh UUD 1945 Bab XIV Pasal 34 Ayat 1

"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara"

Jika anda memelihara seekor kucing, maka anda berusaha agar kucing tersebut tetap bersama anda bukan?
Jika anda memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, maka itu berarti anda berupaya agar keindahan dan kebersihan itu tetap ada bukan?

Nah, mungkin inilah mengapa tetap saja ada fakir miskin dan anak-anak terlantar di bumi pertiwi kita.
Sebab negara berarti berusaha agar fakir miskin dan anak-anak terlantar tetap bersama kita.
Sebab negara berarti berupaya agar fakir miskin dan anak-anak terlantar tetap ada di Indonesia.

Bisa gak sih kalau kata "dipelihara" diganti saja dengan "diupayakan kesejahteraannya".
Maknanya jadi jelas dan tunggal.
Negara berarti akan mengupayakan kesejahteraan bagi warganya yang tergolong fakir miskin dan anak-anak terlantar.
That's it. Gak ada lagi orang yang bakal berpikir dan mempertanyakan macem-macem lagi, kayak yang gue lakukan sekarang ini.



Yaaa intinya, gue tau sih mungkin itu memakai makna kiasan, gue juga yakin yang merancang UUD 1945 dan juga yang mengamandemennya telah mengkajinya dan gue yakin mereka merupakan orang-orang yang sangat terpelajar.
Akan tetapi, ini dasar hukum. Dasar hukum ya harusnya pakai kata-kata bermakna denotasi sajalah biar gak dipertanyakan. Masa sih lulusan SMA kayak gue gini sampe mempertanyakan dasar hukum negaranya sendiri.

Terima kasih sudah membaca :)
Wassalamualaikum.

Minggu, 20 Oktober 2013

Low Cost Green Car (Mobil Pura-pura Murah dan Pura-pura Ramah Lingkungan)

Assalamualaikum
Entri berikut ini dibuat dengan basic pengetahuan gue yang lumayan terbatas, tetapi cukup lah untuk memberikan informasi kepada yang masih awam.

Belakangan ini pemerintah menyetujui beredarnya Low Cost Green Car (LCGC). Gue bakal kasih gambaran umum dulu mengenai LCGC ini. Check it out!

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau.

Di peraturan itu tertuang penetapan besaran harga paling tinggi untuk mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC), yakni Rp95 juta per unit Off the Road.

Dalam keterangan pers Kementerian Perindustrian di situs resminya, 15 Juli 2013, mengenai besaran harga, dalam regulasi dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan-perubahan pada kondisi atau indikator ekonomi yang meliputi besaran inflasi, kurs nilai tukar Rupiah atau harga bahan baku

Industri otomotif yang ingin memproduksi mobil LCGC harus memenuhi berbagai ketentuan, diantaranya mengenai ketentuan konsumsi bahan bakar kendaraan yakni:
  • Untuk motor bakar cetus api kapasitas isi silinder 980-1200cc dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara.
  • Untuk motor bakar nyala kompresi (diesel) kapasitas isi silinder sampai dengan 1500cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara. 
  • Ketentuan jenis BBM, juga harus memenuhi spesifikasi minimal Research Octane Number (RON) 92 untuk motor bakar cetus api dan Cetane Number (CN) 51 untuk diesel
(taken from VIVA NEWS)

Dan dari berbagai sumber lainnya, gue memperoleh pengetahuan seperti ini.

"LCGC dicanangkan pemerintah dengan dalih guna memicu industri otomotif dalam negeri dalam rangka menghadapi persaingan perdagangan bebas ASEAN (yang mulai aktif 2015 nanti)."

Alasan ini cukup bisa diterima, namun jika menilik ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) / Vendor mobil yang hingga saat ini telah meluncurkan mobil yang tergolong LCGC, semuanya adalah merk luar negeri, kebanyakan dari Jepang, seperti Toyota, Daihatsu, Datsun. Memang sumber lain menyebutkan bahwa 80% komponen LCGC dibuat di dalam negeri dan hanya 20% saja yang diimpor. Namun jika tetap di bawah naungan merk Luar Negeri ya keuntungan penjualannya banyak yang lari kesana juga lah. Dan konon, 20% komponen yang diimpor tersebut adalah bagian mesin mobil, bagian paling inti, dan paling mahal, dibandingkan 80% komponen lainnya yang dibuat anak bangsa di dalam negeri seperti komponen chasisnya, body, dll. Jelas kan, duitnya lebih banyak lari kemana tuh? Apa iya industri dalam negeri beneran diuntungkan?

"Alasan lainnya pemerintah menyetujuinya adalah masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 68 tahun sudah selayaknya untuk dapat membeli mobil, yang dimaksud disini adalah masyarakat menengah bawah yang selama ini tidak mampu membeli mobil"

Kalau ini jelas hanya akal-akalan pemerintah dalam berdalih. Masyarakat menengah ke bawah tidak serta merta akan tersulap menjadi masyarakat menengah ke atas dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pasca memiliki LCGC. Malahan, tanggungan biaya hidup sehari-hari ujung-ujungnya bertambah, apalagi LCGC tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.

Berikut, mengapa LCGC digadang-gadang bertitelkan Low Cost.
Seperti sudah disebutkan, LCGC diproduksi di dalam negeri, dengan 80% komponen lokal yang merupakan produksi dalam negeri dan 20% sisanya komponen yang diimpor.
Untuk LCGC, komponen impor tersebut diberikan keringanan pajak atau bahkan hampir tanpa pajak masuk sehingga makin menekan costnya.
Selain itu LCGC diusulkan oleh Kementrian Perindustrian untuk dibebaskan atau paling tidak dikenai keringanan pajak barang mewah (PPnBM) yang juga akan menekan costnya.

Sedangkan dari segi Green-nya, gue belum menemukan sumber yang menjabarkan mengenai keramahlingkunganan mobil ini, kecuali karena diharuskan memiliki mesin dengan konsumsi BBM yang hemat sesuai ketentuan yang diinginkan pemerintah (yang di atas udah gue copyin dari situs VIVA News)

Menurut peninjauan gue, mungkin memang di awal pembelian, mobil ini terkesan low cost karena harganya yang relatif lebih murah. Namun murahnya LCGC harus terus dijamin dong.
Misalnya setiap biaya perawatan seperti servis rutin, termasuk biaya beli oli, isi freon, ganti ban, atau biaya perawatan lainnya dimurahkan juga dengan diberi diskon atau potongan apalah itu, tetapi nyatanya belum gue temukan nih gelagat pemerintah dalam mempertimbangkan biaya maintenance ini.
Selain itu biaya harian juga harusnya murah dong, lah ini malah disuruh pakai BBM yang non subsidi, yang tentu saja jelas lebih mahal.

Kalau dari segi green car, setau gue sehemat apapun mobil yang memakai bahan bakar minyak tetap saja menghabiskan cadangan minyak dunia dan menghasilkan polusi walaupun sedikit. Apalagi kalau nantinya jumlah LCGC yang beredar di masyarakat banyak, tentunya lebih konsumtif lah Indonesia terhadap BBM yang padahal masih ngimpor. Dan lagi polusi pun jelas tetap bertambah. Tidak Green !

Dan dengan (pemerintah menginginkan) semakin banyak warga negara Indonesia yang memiliki mobil, berarti akan memperparah kemacetan di kota-kota besar, apalagi Jabodetabek.

Bertambahnya kemacetan tentu berdampak pada bertambahnya biaya lain seperti biaya penanggulangan hasil kemacetan. Ya, Jika semakin banyak mobil yang terjebak macet di jalan dengan kondisi mobil yang tentu saja menyala, maka konsumsi bahan bakar lebih tinggi lagi, lebih banyak uang yang dihabiskan untuk BBM deh jadinya.

Dan kemacetan tentu menyumbangkan bertambahnya tingkat polusi udara. Yang berarti berisiko menambah biaya lain seperti biaya penanggulangan buruknya kesehatan seperti timbulnya efek radikal bebas, penyakit pernafasan.

Jangan dilupakan pula bahwa kemacetan tentu menimbulkan dan menambah stress bagi pengguna jalan yang bisa jadi harus ditanggulangi pakai biaya pula di kemudian hari.

Selain itu kemacetan pun memicu menurunnya produktifitas para pengguna jalan yang lebih banyak menghabiskan waktu di jalan ketimbang di kantor mengurusi pekerjaannya.

Untuk hal yang satu ini Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan bilang bahwa LCGC diprioritaskan untuk kota-kota besar di luar Jawa. Ya mungkin maksudnya biar yang di luar Jawa merasakan juga dampak-kena-macet itu ya hehehe
Pertanyaannya apakah pemerintah mampu menjamin mobil-mobil yang didistribusikan ke kota-kota besar di luar Pulau Jawa guna dibeli masyarakat setempat itu, nantinya, ujung-ujungnya, akhir-akhirnya, tidak masuk ke Jabodetabek (lagi)?

Jadi, masihkah anda berpikir bahwa Low Cost Green Car ini kebijakan yang tepat? Silakan dipikir ulang. Wassalam.



Tidak Ada Demokrasi untuk Orang Bodoh

Assalamualaikum
Postingan gue ini terinspirasi dari hasil membaca salah satu bukunya Pandji Pragiwaksono, yakni Berani Mengubah, yang salah satu babnya membahas mengenai perpolitikan negeri kita.

Seperti kita ketahui bersama, Indonesia mengaku sebagai negara demokrasi. Namun faktanya, masih banyak dari sebagian warga negara Indonesia, (mungkin termasuk gue) yang salah kaprah dan belum paham betul dengan demokrasi. Banyak yang hanya berasumsi bahwa demokrasi sama dengan kebebasan.

Berikut gue kasih liat sedikit penjabarkan dulu pengertian demokrasi secara singkat, kayak di buku-buku PKn. Check it out!

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan".

Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
( taken from wikipedia

Oke, dari ciri-ciri pemerintahan yang berdemokrasi tersebut, gue akan menyoroti secara khusus point ke-1, ke-3, ke-7, dan ke-8.

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan luas wilayah dari Sabang sampai Merauke, keterlibatan rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan politik tentu saja melalui perwakilan. Dan para wakil rakyat Indonesia dipilih melalui pemilu seperti tertera pada point ke-7 dan ke-8. Ditambah lagi, point ke-3 menyebutkan persamaan hak dalam segala bidang, yang dalam hal ini berarti dalam menentukan wakil rakyat, setiap warga negara (tentunya yang memenuhi syarat) memiliki hak yang sama.

Inilah masalahnya.
Dengan perlakuan yang demikian, maka di dalam pemilihan umum, suara yang disumbangkan oleh seorang tukang becak, seorang siswa SMA yang baru memiliki KTP, seorang pengamat politik terkemuka, dianggap sama.
Loh, bukannya itu bagus? itu kan menggambarkan kesetaraan yang adil?
Tidak juga. Tidak untuk kondisi masyarakat kita yang seperti sekarang ini.

Mari kita bandingkan.
Pertama, Tukang becak yang mungkin kebanyakan hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama, sehari-harinya mungkin hanya memusingkan masalah pendapatan, menonton TV pun mungkin hanya acara dangdutan, sinetron yang tidak mendidik,dll. Cenderung hanya akan memberikan suaranya kepada calon wakil rakyat yang pada masa kampanye membagikan kaos gratis kepada mereka atau malah mungkin disertai "amplop". (ini hanya gambaran umum loh ya, gue tau ada juga kok tukang becak yang berpendidikan bagus dan peduli terhadap perpolitikan)
Kedua, Seorang pengamat politik terkemuka yang bolak-balik berbicara di acara talk show politik di layar kaca, latar pendidikannya jelas lebih baik, paham betul kondisi pemerintahan negara kita dan agaknya mengenal para calon wakil rakyat yang tengah berebut kursi di pemilu.

Suara yang diberikan kedua orang tersebut dalam pemilu nilainya sama, masing-masing hanya bisa menyumbangkan satu suara.

Sampai di sini, kalian paham maksud gue?

Ya, kita tidak sepenuhnya siap dengan demokrasi yang demikian.
Terdapat kesenjangan pendidikan politik. Dan sialnya, lebih banyak jumlah WNI yang pendidikan politik dan/atau kepedulian politiknya rendah, dibandingkan WNI yang tahu betul atau setidaknya mengenal politik. Lebih sial lagi, ketimpangan jumlah tersebut dimanfaatkan oleh para calon wakil rakyat di Indonesia untuk meraup banyak suara dengan cara-cara yang "menipu".

Lalu, bagaimana solusinya?

Kalo mau ekstrim sih bisa saja syarat untuk menjadi pemilih dalam Pemilu ditambah, misalnya selain cukup umur, sehat jasmani dan rohani, juga harus sudah lulus dari sekolah menengah atas, dengan asumsi di SMA pendidikan kewarganegaraannya sudah mencakup pendidikan politik.
Namun dengan begitu, sama saja mempersempit kebebasan hak berpolitik setiap warga negara.

Tetapi, ada satu hal yang bisa gue sarankan.

Simple aja, gue yakin kalian yang baca postingan gue ini adalah yang berpendidikan. So, kalian cukup tularkan keberpendidikan kalian itu kepada orang-orang di sekitar kalian yang dianggap kurang mengetahui masalah politik dan/atau demokrasi.

Ayo kita bareng-bareng lebih peduli. Contoh nyatanya, setiap kali akan menghadapi Pemilu atau Pilkada, kita harus lebih peduli dengan mencari tahu "siapa" aja sih mereka yang mau mewakili kita di pemerintahan. Sukur-sukur kalo setelah kita sendiri tahu, lalu kita share. bisa dikasih tau ke orang lain lewat lisan, atau posting di facebook, atau ngetweet.

Dimulai dari kamu, kita pasti bisa saling mencerdaskan. Demi pelaksanaan demokrasi tanpa kebodohan apalagi pembodohan.
Akhir kata, mohon maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung. Wassalam.

Find something ?