Rabu, 30 Oktober 2013

Secuil Pesan untuk Pemimpin DKI

Assalamualaikum

Beberapa detik yang lalu gue baru aja ngeclose beberapa tab mozilla tempat gue nonton video-video dari youtube.
Di antara video tersebut ada yang menarik, yakni tentang cara "DKI Jakarta" yang kayaknya agak rajin mengupload secara resmi video rapat yang tentunya dihadiri oleh aparat-aparat pemerintahan.

Di satu sisi jelas gue kagum mereka bisa setransparan itu, dan belum pernah ada yang sebegininya banget.

Tetapi, dari video-video tersebut lumayan banyak yang berisikan sang-pemimpin-teratas DKI (tepatnya si wakilnya) yang "memarahi" anak buahnya.
Memarahi dengan banyak definisi tentunya, beberapa terdefinisikan sebagai sang-pemimpin-teratas mengkritisi kinerja bawahannya, atau sang-pemimpin-teratas membantah argumen bawahannya dengan nada tinggi, atau sang-pemimpin-teratas menuntut bawahannya merubah apa yang direncanakannya.

Mungkin gue emang gak ngeliat semua video yang tersajikan, dan gue mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti ini, tetapi entah mengapa dengan dijejali beberapa video tersebut, otak gue lalu berpikir "kok kayaknya sang-pemimpin-teratas DKI terlihat superior banget ya sementara bawahannya malah keliatan kayak lagunya Raisa - Serba Salah" hehehe

Harus diingat bahwa yang disajikan untuk publik tentu akan membentuk opini publik.

Dan kesan yang nyangkut di otak gue ya seperti itu, seakan-akan aparatur pemerintahan DKI gak becus sementara sang pemimpinnya doang yang becus.
Kalau aja opini seperti ini muncul juga pada ribuan orang yang mungkin juga menyaksikan video-video tersebut, agak gawat juga.
Karena sesungguhnya kan sang pemimpin gak bisa berbuat apa-apa tanpa pion-pion terdepan yang bakalan langsung bersentuhan dengan masyarakat, yang gue yakin masing-masing sudah sesuai antara keahlian dengan bidang yang ditanganinya. Sementara itu dengan tersajinya gambaran sang pemimpin "memarahi" anak buah itu ke publik kita dibuat hanya "percaya" pada pemimpin dan tidak percaya dengan aparatur yang dipimpin.


Menurut gue pembentukan opini publik melalui pemublikasian semacam ini dapat berdampak:
  1. Adanya perasaan sakit hati yang lebih dari biasanya di hati para bawahan yang "dimarahi" karena seakan sekaligus dibikin malu pada saat bersamaan dengan divideokan dan diunggahnya hal tsb.
  2. Ini gambling. Bisa jadi beberapa di antara mereka yang dimarahi bukan termotivasi kinerjanya setelah publik melihat mereka "dimarahi" sang pemimpin tetapi malah menjurus ke arah sebaliknya
  3. Kepercayaan publik terhadap para pemimpin yang berada di bawah sang-pemimpin-teratas berkurang, dan hanya benar-benar menaruh kagum, simpatik, dukungan, kepercayaan kepada sang-pemimpin-teratas saja. Padahal secara keseluruhan pemerintahan harus mendapat dukungan masyarakat agar kinerjanya baik, bukan sang-pemimpin-teratas saja, karena yang akan benar-benar bersentuhan dan bekerja pada bidang-bidang yang dibangun atau dibenahi kan mereka yang posisinya di bawah sang-pemimpin-teratas

Masih belum konek juga apa yang gue maksud?

Kebanyakan video itu secara tidak langsung membangun citra sang pemimpin sekaligus mempermalukan mereka yang "dimarahi"

Ya gue yakin sih diuploadnya video-video tersebut atas dasar transparansi bukan pencitraan. Tapi ya gimana yaaa . . .


Menegakkan kebenaran, menindak kekeliruan memang sangat benar harus terus dilaksanakan.

Namun menurut gue ada baiknya sang pemimpin tidak terlalu sering "memarahi" anak buahnya di depan umum. Gampangnya sihh, bisa kan di belakang layar aja?


Emang sih itu marahinnya di ruang rapat tertutup, tapi kan divideoin, terus diunggah ke internet. Ya jadinya sama aja lah.

Wassalam. Selamat dini hari :)

Senin, 21 Oktober 2013

Diksi Yang Dipertanyakan dalam UUD 1945

Assalamualaikum wr.wb.
Salah satu dosen gue, Pak Andi Purnomo, S.T., M.A. sempat atau bahkan sering menyoroti kesalahan atau kekeliruan atau keambiguan dalam penggunaan bahasa tercinta kita, Bahasa Indonesia. Dan yang paling menarik perhatian gue adalah penggunaan pilihan kata (diksi) berikut di dalam UUD 1945

First, dimulai dari bagian pembukaan UUD 1945. Coba kita telaah pada alinea kedua.

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Apakah ada yang salah? Pastinya gue gak berani bilang ini kesalahan. Coba deh bro sist sekalian baca lagi.

Mungkin alinea ini seolah menjadi jawaban bagi pertanyaan mereka yang selama ini berkoar "Apakah Indonesia sesungguhnya sudah merdeka?"
Ya, kita mungkin bahkan belum memasuki kemerdekaan itu sendiri.
Kita masih di depan pintu gerbang kemerdekaan. Baru sampai di sanalah pencapaian kita jika menelaah alinea tersebut.
Itu dari segi "kesalahan lucu" dalam penggunaan diksi.

Lebih lanjut, mari kita selami.

Coba bayangkan, berarti selama ini, Indonesia sudah berada di depan sebuah pintu gerbang selama 68 tahun tanpa memasukinya.
Hmmm, mungkin pintu gerbangnya masih dikunci kali ya?hehehe
Dan yang seharusnya membuka gerbang yang terkunci tersebut masih sibuk unjuk rasa tidak jelas, saling menyalahkan, beberapa malah tidak peduli, merasa tidak memiliki negara ini dengan melimpahkan segalanya kepada pemerintah, terus menyalahkan pemerintah tanpa pernah terjun langsung ke sekitarnya untuk membuka mata dan menolong orang yang mereka teriakkan haknya.

Para pemuda masih mencari kunci kemerdekaan tersebut. Mungkin termasuk gue, saat ini gue cuma bisa posting beginian doang di blog. Tapi mungkin di sini, perlahan serpihan kunci gerbang yang teramat besar tersebut bisa gue temukan untuk kemudian gue gabungkan dengan serpihan kunci lainnya yang ditemukan para pemuda bangsa lainnya.


Next, diksi yang agak gue pertanyakan terdapat pada batang tubuh UUD 1945 Bab XIV Pasal 34 Ayat 1

"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara"

Jika anda memelihara seekor kucing, maka anda berusaha agar kucing tersebut tetap bersama anda bukan?
Jika anda memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, maka itu berarti anda berupaya agar keindahan dan kebersihan itu tetap ada bukan?

Nah, mungkin inilah mengapa tetap saja ada fakir miskin dan anak-anak terlantar di bumi pertiwi kita.
Sebab negara berarti berusaha agar fakir miskin dan anak-anak terlantar tetap bersama kita.
Sebab negara berarti berupaya agar fakir miskin dan anak-anak terlantar tetap ada di Indonesia.

Bisa gak sih kalau kata "dipelihara" diganti saja dengan "diupayakan kesejahteraannya".
Maknanya jadi jelas dan tunggal.
Negara berarti akan mengupayakan kesejahteraan bagi warganya yang tergolong fakir miskin dan anak-anak terlantar.
That's it. Gak ada lagi orang yang bakal berpikir dan mempertanyakan macem-macem lagi, kayak yang gue lakukan sekarang ini.



Yaaa intinya, gue tau sih mungkin itu memakai makna kiasan, gue juga yakin yang merancang UUD 1945 dan juga yang mengamandemennya telah mengkajinya dan gue yakin mereka merupakan orang-orang yang sangat terpelajar.
Akan tetapi, ini dasar hukum. Dasar hukum ya harusnya pakai kata-kata bermakna denotasi sajalah biar gak dipertanyakan. Masa sih lulusan SMA kayak gue gini sampe mempertanyakan dasar hukum negaranya sendiri.

Terima kasih sudah membaca :)
Wassalamualaikum.

Minggu, 20 Oktober 2013

Low Cost Green Car (Mobil Pura-pura Murah dan Pura-pura Ramah Lingkungan)

Assalamualaikum
Entri berikut ini dibuat dengan basic pengetahuan gue yang lumayan terbatas, tetapi cukup lah untuk memberikan informasi kepada yang masih awam.

Belakangan ini pemerintah menyetujui beredarnya Low Cost Green Car (LCGC). Gue bakal kasih gambaran umum dulu mengenai LCGC ini. Check it out!

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau.

Di peraturan itu tertuang penetapan besaran harga paling tinggi untuk mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC), yakni Rp95 juta per unit Off the Road.

Dalam keterangan pers Kementerian Perindustrian di situs resminya, 15 Juli 2013, mengenai besaran harga, dalam regulasi dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan-perubahan pada kondisi atau indikator ekonomi yang meliputi besaran inflasi, kurs nilai tukar Rupiah atau harga bahan baku

Industri otomotif yang ingin memproduksi mobil LCGC harus memenuhi berbagai ketentuan, diantaranya mengenai ketentuan konsumsi bahan bakar kendaraan yakni:
  • Untuk motor bakar cetus api kapasitas isi silinder 980-1200cc dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara.
  • Untuk motor bakar nyala kompresi (diesel) kapasitas isi silinder sampai dengan 1500cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara. 
  • Ketentuan jenis BBM, juga harus memenuhi spesifikasi minimal Research Octane Number (RON) 92 untuk motor bakar cetus api dan Cetane Number (CN) 51 untuk diesel
(taken from VIVA NEWS)

Dan dari berbagai sumber lainnya, gue memperoleh pengetahuan seperti ini.

"LCGC dicanangkan pemerintah dengan dalih guna memicu industri otomotif dalam negeri dalam rangka menghadapi persaingan perdagangan bebas ASEAN (yang mulai aktif 2015 nanti)."

Alasan ini cukup bisa diterima, namun jika menilik ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) / Vendor mobil yang hingga saat ini telah meluncurkan mobil yang tergolong LCGC, semuanya adalah merk luar negeri, kebanyakan dari Jepang, seperti Toyota, Daihatsu, Datsun. Memang sumber lain menyebutkan bahwa 80% komponen LCGC dibuat di dalam negeri dan hanya 20% saja yang diimpor. Namun jika tetap di bawah naungan merk Luar Negeri ya keuntungan penjualannya banyak yang lari kesana juga lah. Dan konon, 20% komponen yang diimpor tersebut adalah bagian mesin mobil, bagian paling inti, dan paling mahal, dibandingkan 80% komponen lainnya yang dibuat anak bangsa di dalam negeri seperti komponen chasisnya, body, dll. Jelas kan, duitnya lebih banyak lari kemana tuh? Apa iya industri dalam negeri beneran diuntungkan?

"Alasan lainnya pemerintah menyetujuinya adalah masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 68 tahun sudah selayaknya untuk dapat membeli mobil, yang dimaksud disini adalah masyarakat menengah bawah yang selama ini tidak mampu membeli mobil"

Kalau ini jelas hanya akal-akalan pemerintah dalam berdalih. Masyarakat menengah ke bawah tidak serta merta akan tersulap menjadi masyarakat menengah ke atas dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi pasca memiliki LCGC. Malahan, tanggungan biaya hidup sehari-hari ujung-ujungnya bertambah, apalagi LCGC tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.

Berikut, mengapa LCGC digadang-gadang bertitelkan Low Cost.
Seperti sudah disebutkan, LCGC diproduksi di dalam negeri, dengan 80% komponen lokal yang merupakan produksi dalam negeri dan 20% sisanya komponen yang diimpor.
Untuk LCGC, komponen impor tersebut diberikan keringanan pajak atau bahkan hampir tanpa pajak masuk sehingga makin menekan costnya.
Selain itu LCGC diusulkan oleh Kementrian Perindustrian untuk dibebaskan atau paling tidak dikenai keringanan pajak barang mewah (PPnBM) yang juga akan menekan costnya.

Sedangkan dari segi Green-nya, gue belum menemukan sumber yang menjabarkan mengenai keramahlingkunganan mobil ini, kecuali karena diharuskan memiliki mesin dengan konsumsi BBM yang hemat sesuai ketentuan yang diinginkan pemerintah (yang di atas udah gue copyin dari situs VIVA News)

Menurut peninjauan gue, mungkin memang di awal pembelian, mobil ini terkesan low cost karena harganya yang relatif lebih murah. Namun murahnya LCGC harus terus dijamin dong.
Misalnya setiap biaya perawatan seperti servis rutin, termasuk biaya beli oli, isi freon, ganti ban, atau biaya perawatan lainnya dimurahkan juga dengan diberi diskon atau potongan apalah itu, tetapi nyatanya belum gue temukan nih gelagat pemerintah dalam mempertimbangkan biaya maintenance ini.
Selain itu biaya harian juga harusnya murah dong, lah ini malah disuruh pakai BBM yang non subsidi, yang tentu saja jelas lebih mahal.

Kalau dari segi green car, setau gue sehemat apapun mobil yang memakai bahan bakar minyak tetap saja menghabiskan cadangan minyak dunia dan menghasilkan polusi walaupun sedikit. Apalagi kalau nantinya jumlah LCGC yang beredar di masyarakat banyak, tentunya lebih konsumtif lah Indonesia terhadap BBM yang padahal masih ngimpor. Dan lagi polusi pun jelas tetap bertambah. Tidak Green !

Dan dengan (pemerintah menginginkan) semakin banyak warga negara Indonesia yang memiliki mobil, berarti akan memperparah kemacetan di kota-kota besar, apalagi Jabodetabek.

Bertambahnya kemacetan tentu berdampak pada bertambahnya biaya lain seperti biaya penanggulangan hasil kemacetan. Ya, Jika semakin banyak mobil yang terjebak macet di jalan dengan kondisi mobil yang tentu saja menyala, maka konsumsi bahan bakar lebih tinggi lagi, lebih banyak uang yang dihabiskan untuk BBM deh jadinya.

Dan kemacetan tentu menyumbangkan bertambahnya tingkat polusi udara. Yang berarti berisiko menambah biaya lain seperti biaya penanggulangan buruknya kesehatan seperti timbulnya efek radikal bebas, penyakit pernafasan.

Jangan dilupakan pula bahwa kemacetan tentu menimbulkan dan menambah stress bagi pengguna jalan yang bisa jadi harus ditanggulangi pakai biaya pula di kemudian hari.

Selain itu kemacetan pun memicu menurunnya produktifitas para pengguna jalan yang lebih banyak menghabiskan waktu di jalan ketimbang di kantor mengurusi pekerjaannya.

Untuk hal yang satu ini Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan bilang bahwa LCGC diprioritaskan untuk kota-kota besar di luar Jawa. Ya mungkin maksudnya biar yang di luar Jawa merasakan juga dampak-kena-macet itu ya hehehe
Pertanyaannya apakah pemerintah mampu menjamin mobil-mobil yang didistribusikan ke kota-kota besar di luar Pulau Jawa guna dibeli masyarakat setempat itu, nantinya, ujung-ujungnya, akhir-akhirnya, tidak masuk ke Jabodetabek (lagi)?

Jadi, masihkah anda berpikir bahwa Low Cost Green Car ini kebijakan yang tepat? Silakan dipikir ulang. Wassalam.



Tidak Ada Demokrasi untuk Orang Bodoh

Assalamualaikum
Postingan gue ini terinspirasi dari hasil membaca salah satu bukunya Pandji Pragiwaksono, yakni Berani Mengubah, yang salah satu babnya membahas mengenai perpolitikan negeri kita.

Seperti kita ketahui bersama, Indonesia mengaku sebagai negara demokrasi. Namun faktanya, masih banyak dari sebagian warga negara Indonesia, (mungkin termasuk gue) yang salah kaprah dan belum paham betul dengan demokrasi. Banyak yang hanya berasumsi bahwa demokrasi sama dengan kebebasan.

Berikut gue kasih liat sedikit penjabarkan dulu pengertian demokrasi secara singkat, kayak di buku-buku PKn. Check it out!

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan".

Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
( taken from wikipedia

Oke, dari ciri-ciri pemerintahan yang berdemokrasi tersebut, gue akan menyoroti secara khusus point ke-1, ke-3, ke-7, dan ke-8.

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan luas wilayah dari Sabang sampai Merauke, keterlibatan rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan politik tentu saja melalui perwakilan. Dan para wakil rakyat Indonesia dipilih melalui pemilu seperti tertera pada point ke-7 dan ke-8. Ditambah lagi, point ke-3 menyebutkan persamaan hak dalam segala bidang, yang dalam hal ini berarti dalam menentukan wakil rakyat, setiap warga negara (tentunya yang memenuhi syarat) memiliki hak yang sama.

Inilah masalahnya.
Dengan perlakuan yang demikian, maka di dalam pemilihan umum, suara yang disumbangkan oleh seorang tukang becak, seorang siswa SMA yang baru memiliki KTP, seorang pengamat politik terkemuka, dianggap sama.
Loh, bukannya itu bagus? itu kan menggambarkan kesetaraan yang adil?
Tidak juga. Tidak untuk kondisi masyarakat kita yang seperti sekarang ini.

Mari kita bandingkan.
Pertama, Tukang becak yang mungkin kebanyakan hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama, sehari-harinya mungkin hanya memusingkan masalah pendapatan, menonton TV pun mungkin hanya acara dangdutan, sinetron yang tidak mendidik,dll. Cenderung hanya akan memberikan suaranya kepada calon wakil rakyat yang pada masa kampanye membagikan kaos gratis kepada mereka atau malah mungkin disertai "amplop". (ini hanya gambaran umum loh ya, gue tau ada juga kok tukang becak yang berpendidikan bagus dan peduli terhadap perpolitikan)
Kedua, Seorang pengamat politik terkemuka yang bolak-balik berbicara di acara talk show politik di layar kaca, latar pendidikannya jelas lebih baik, paham betul kondisi pemerintahan negara kita dan agaknya mengenal para calon wakil rakyat yang tengah berebut kursi di pemilu.

Suara yang diberikan kedua orang tersebut dalam pemilu nilainya sama, masing-masing hanya bisa menyumbangkan satu suara.

Sampai di sini, kalian paham maksud gue?

Ya, kita tidak sepenuhnya siap dengan demokrasi yang demikian.
Terdapat kesenjangan pendidikan politik. Dan sialnya, lebih banyak jumlah WNI yang pendidikan politik dan/atau kepedulian politiknya rendah, dibandingkan WNI yang tahu betul atau setidaknya mengenal politik. Lebih sial lagi, ketimpangan jumlah tersebut dimanfaatkan oleh para calon wakil rakyat di Indonesia untuk meraup banyak suara dengan cara-cara yang "menipu".

Lalu, bagaimana solusinya?

Kalo mau ekstrim sih bisa saja syarat untuk menjadi pemilih dalam Pemilu ditambah, misalnya selain cukup umur, sehat jasmani dan rohani, juga harus sudah lulus dari sekolah menengah atas, dengan asumsi di SMA pendidikan kewarganegaraannya sudah mencakup pendidikan politik.
Namun dengan begitu, sama saja mempersempit kebebasan hak berpolitik setiap warga negara.

Tetapi, ada satu hal yang bisa gue sarankan.

Simple aja, gue yakin kalian yang baca postingan gue ini adalah yang berpendidikan. So, kalian cukup tularkan keberpendidikan kalian itu kepada orang-orang di sekitar kalian yang dianggap kurang mengetahui masalah politik dan/atau demokrasi.

Ayo kita bareng-bareng lebih peduli. Contoh nyatanya, setiap kali akan menghadapi Pemilu atau Pilkada, kita harus lebih peduli dengan mencari tahu "siapa" aja sih mereka yang mau mewakili kita di pemerintahan. Sukur-sukur kalo setelah kita sendiri tahu, lalu kita share. bisa dikasih tau ke orang lain lewat lisan, atau posting di facebook, atau ngetweet.

Dimulai dari kamu, kita pasti bisa saling mencerdaskan. Demi pelaksanaan demokrasi tanpa kebodohan apalagi pembodohan.
Akhir kata, mohon maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung. Wassalam.

Find something ?