Minggu, 20 Oktober 2013

Tidak Ada Demokrasi untuk Orang Bodoh

Assalamualaikum
Postingan gue ini terinspirasi dari hasil membaca salah satu bukunya Pandji Pragiwaksono, yakni Berani Mengubah, yang salah satu babnya membahas mengenai perpolitikan negeri kita.

Seperti kita ketahui bersama, Indonesia mengaku sebagai negara demokrasi. Namun faktanya, masih banyak dari sebagian warga negara Indonesia, (mungkin termasuk gue) yang salah kaprah dan belum paham betul dengan demokrasi. Banyak yang hanya berasumsi bahwa demokrasi sama dengan kebebasan.

Berikut gue kasih liat sedikit penjabarkan dulu pengertian demokrasi secara singkat, kayak di buku-buku PKn. Check it out!

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan".

Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
( taken from wikipedia

Oke, dari ciri-ciri pemerintahan yang berdemokrasi tersebut, gue akan menyoroti secara khusus point ke-1, ke-3, ke-7, dan ke-8.

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan luas wilayah dari Sabang sampai Merauke, keterlibatan rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan politik tentu saja melalui perwakilan. Dan para wakil rakyat Indonesia dipilih melalui pemilu seperti tertera pada point ke-7 dan ke-8. Ditambah lagi, point ke-3 menyebutkan persamaan hak dalam segala bidang, yang dalam hal ini berarti dalam menentukan wakil rakyat, setiap warga negara (tentunya yang memenuhi syarat) memiliki hak yang sama.

Inilah masalahnya.
Dengan perlakuan yang demikian, maka di dalam pemilihan umum, suara yang disumbangkan oleh seorang tukang becak, seorang siswa SMA yang baru memiliki KTP, seorang pengamat politik terkemuka, dianggap sama.
Loh, bukannya itu bagus? itu kan menggambarkan kesetaraan yang adil?
Tidak juga. Tidak untuk kondisi masyarakat kita yang seperti sekarang ini.

Mari kita bandingkan.
Pertama, Tukang becak yang mungkin kebanyakan hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama, sehari-harinya mungkin hanya memusingkan masalah pendapatan, menonton TV pun mungkin hanya acara dangdutan, sinetron yang tidak mendidik,dll. Cenderung hanya akan memberikan suaranya kepada calon wakil rakyat yang pada masa kampanye membagikan kaos gratis kepada mereka atau malah mungkin disertai "amplop". (ini hanya gambaran umum loh ya, gue tau ada juga kok tukang becak yang berpendidikan bagus dan peduli terhadap perpolitikan)
Kedua, Seorang pengamat politik terkemuka yang bolak-balik berbicara di acara talk show politik di layar kaca, latar pendidikannya jelas lebih baik, paham betul kondisi pemerintahan negara kita dan agaknya mengenal para calon wakil rakyat yang tengah berebut kursi di pemilu.

Suara yang diberikan kedua orang tersebut dalam pemilu nilainya sama, masing-masing hanya bisa menyumbangkan satu suara.

Sampai di sini, kalian paham maksud gue?

Ya, kita tidak sepenuhnya siap dengan demokrasi yang demikian.
Terdapat kesenjangan pendidikan politik. Dan sialnya, lebih banyak jumlah WNI yang pendidikan politik dan/atau kepedulian politiknya rendah, dibandingkan WNI yang tahu betul atau setidaknya mengenal politik. Lebih sial lagi, ketimpangan jumlah tersebut dimanfaatkan oleh para calon wakil rakyat di Indonesia untuk meraup banyak suara dengan cara-cara yang "menipu".

Lalu, bagaimana solusinya?

Kalo mau ekstrim sih bisa saja syarat untuk menjadi pemilih dalam Pemilu ditambah, misalnya selain cukup umur, sehat jasmani dan rohani, juga harus sudah lulus dari sekolah menengah atas, dengan asumsi di SMA pendidikan kewarganegaraannya sudah mencakup pendidikan politik.
Namun dengan begitu, sama saja mempersempit kebebasan hak berpolitik setiap warga negara.

Tetapi, ada satu hal yang bisa gue sarankan.

Simple aja, gue yakin kalian yang baca postingan gue ini adalah yang berpendidikan. So, kalian cukup tularkan keberpendidikan kalian itu kepada orang-orang di sekitar kalian yang dianggap kurang mengetahui masalah politik dan/atau demokrasi.

Ayo kita bareng-bareng lebih peduli. Contoh nyatanya, setiap kali akan menghadapi Pemilu atau Pilkada, kita harus lebih peduli dengan mencari tahu "siapa" aja sih mereka yang mau mewakili kita di pemerintahan. Sukur-sukur kalo setelah kita sendiri tahu, lalu kita share. bisa dikasih tau ke orang lain lewat lisan, atau posting di facebook, atau ngetweet.

Dimulai dari kamu, kita pasti bisa saling mencerdaskan. Demi pelaksanaan demokrasi tanpa kebodohan apalagi pembodohan.
Akhir kata, mohon maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Find something ?